
Fenomena Lonjakan Konsumsi Suplemen Herbal Pascapandemi: Tren atau Kebutuhan?
Tanggal: 5 Juli 2025
Kategori: Kesehatan
Jakarta — Sejak pandemi COVID-19 mereda, tren kesehatan masyarakat Indonesia mengalami pergeseran signifikan. Salah satunya adalah peningkatan konsumsi suplemen berbahan dasar herbal. Mulai dari kapsul temulawak, kunyit, jahe merah, hingga ekstrak sambiloto kini menjadi bagian dari gaya hidup sehat generasi urban. Namun, benarkah ini adalah bentuk kesadaran kesehatan yang murni, atau hanya tren sesaat yang didorong oleh industri?
Data dan Fakta Konsumsi Suplemen Herbal
Menurut laporan terbaru dari Asosiasi Suplemen dan Fitofarmaka Indonesia (ASFI), penjualan produk herbal naik sebesar 38% sepanjang semester pertama tahun 2025. Produk yang paling laris antara lain:
-
Jahe Merah Instan (serbuk dan kapsul)
-
Kunyit Asam Cair
-
Minyak Oles Herbal (seperti kayu putih + cengkeh)
-
Suplemen Imunitas Kombinasi (ekstrak meniran + sambiloto)
Laporan tersebut juga mencatat bahwa konsumen terbanyak berasal dari kelompok usia 25–45 tahun, dengan mayoritas tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar.
“Pasar suplemen herbal kini bukan hanya didominasi oleh orang tua. Anak muda juga mulai paham bahwa pencegahan lebih penting daripada pengobatan,” ujar Sari Lestari, CEO perusahaan suplemen lokal Herbavita.
Penyebab Lonjakan: Kesadaran atau Marketing?
Pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran UI, dr. Helmi Ramadhan, MPH, menilai tren ini sebagai bagian dari transformasi pascapandemi yang positif, namun tetap perlu dikritisi.
“Kita melihat peningkatan kesadaran, tapi juga ekses. Banyak masyarakat tidak memahami dosis dan indikasi sebenarnya. Konsumsi tanpa panduan bisa menyebabkan interaksi obat yang berbahaya, terutama jika dikombinasikan dengan obat medis,” jelas dr. Helmi.
Ia mencontohkan kasus pasien yang mengalami gangguan lambung akibat konsumsi temulawak ekstrak secara berlebihan tanpa makan terlebih dahulu.
Selain itu, maraknya influencer dan selebgram yang mempromosikan suplemen herbal turut mendorong tren ini. Sayangnya, tidak semua promosi dilakukan dengan pengetahuan medis yang cukup.
Peran BPOM dan Edukasi Konsumen
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menyatakan telah mengawasi lebih dari 700 produk herbal dan suplemen yang beredar di pasaran selama tahun 2024–2025. Dari jumlah tersebut, sekitar 8% ditarik karena tidak memenuhi standar keamanan dan pelabelan.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengimbau masyarakat untuk selalu memeriksa nomor registrasi BPOM dan tidak mudah tergiur klaim berlebihan.
“Klaim seperti ‘obat segala penyakit’ atau ‘suplemen yang menyembuhkan’ adalah indikasi bahwa produk itu patut dicurigai. Herbal itu pelengkap, bukan penyembuh utama,” tegasnya.
BPOM juga bekerja sama dengan platform e-commerce untuk menertibkan penjualan produk herbal ilegal yang marak dijual secara daring.
Masa Depan Herbal Indonesia: Potensi Ekspor dan Riset
Sisi positif dari tren ini adalah meningkatnya minat terhadap tanaman obat asli Indonesia seperti sambiloto, meniran, dan pegagan. Beberapa start-up bahkan mengembangkan aplikasi pelacakan suplemen berbasis AI dan integrasi konsultasi dokter.
Kementerian Kesehatan pun mendorong riset integratif antara pengobatan modern dan herbal lewat program “Fitofarmaka Nasional 2030”, yang menargetkan ekspor produk herbal olahan senilai USD 500 juta per tahun.
Kesimpulan:
Tren konsumsi suplemen herbal mencerminkan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya imunitas dan gaya hidup sehat. Namun, edukasi, regulasi, dan pengawasan tetap harus diperkuat agar suplemen ini benar-benar bermanfaat dan tidak membahayakan kesehatan publik.